Kata kosher dalam kamus Inggris-Indonesia (John M Echols dan Hassan Shadily, 1988) diterjemahkan sebagai “halal”, dengan contoh kosher meat sama dengan “daging halal”. Terjemahan ini sebenarnya tidak sesuai dengan arti sesungguhnya dari kosher. Dalam Webster World University Dictionary, disebutkan bahwa kosher atau kashrut/kasher sebagai ceremonially clean; conforming to Jewish dietary law. Kosher adalah istilah agama Yahudi yang menurut hukum Talmud kemudian menjadi hukum agama Yahudi.
Dalam kacamata Yahudi, makanan dan hewan yang boleh dimakan disebut kosher, kashrut, atau kasher. Sedangkan lawannya yang tidak boleh dimakan disebut trefa atau trayfah. Kedua istilah itu sepintas lalu memang mirip dengan halal dan haram bagi umat Islam.
Pada kenyataannya memang ada hal-hal yang sama antara kedua pengertian tersebut. Kosher tidak menghendaki adanya unsur babi dalam makanan dan minuman. Selain itu hewan (sapi, kambing, domba, dll) harus disembelih dengan menggunakan pisau tajam dan tidak boleh dimatikan dengan cara dipukul, dipelintir, atau diterkam binatang buas.
Karena kemiripan pengertian dua istilah itu, maka orang-orang Yahudi mempromosikan bahwa kosher food adalah makanan yang halal bagi Muslim. Karena sudah ada sertifikat kosher, maka tidak perlu lagi sertifikat halal untuk produk tersebut.
Pengertian ini kemudian dikampanyekan dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Di Amerika Serikat, konsumen kosher food jauh melebihi jumlah konsumen pemeluk Yahudi Ortodok, yang menghendaki makanan kosher. Hal ini disebabkan karena kaum Muslim dan Kristen Advent juga ikut menjadi konsumen makanan kosher.
Dengan angka tersebut, kaum Yahudi mencoba memperkenalkan kosher food ke segenap penjuru dunia, dengan sasaran utama umat Islam. Dengan demikian posisi tawar sertifikasi kosher semakin meningkat di mata para produsen makanan.
Padahal, jumlah penduduk Yahudi dunia pada tahun 1967 hanya 12 juta jiwa, sementara Muslim pada waktu itu sudah mencapai 700 juta jiwa. Kini umat Islam dunia sudah mendekati angka 1,5 miliar orang.
Orang Yahudi menginginkan agar umat Islam memakan kosher foods, tetapi mereka sendiri tidak mau mengkonsumsi halal foods. Mereka juga berkeinginan mempopulerkan istilah kosher dalam perdagangan internasional.
Tidak serupa dan tidak sama
Meskipun ada kemiripan antara halal dan kosher, sebenarnya keduanya adalah berbeda. Ada barang haram yang masuk kategori kosher, sebaliknya ada juga makanan halal yang masuk dalam kategori treyfah.
Contoh makanan dan minuman yang masuk dalam kategori kosher tetapi tidak halal adalah minuman anggur (wine). Juga semua jenis gelatin (tanpa memandang terbuat dari tulang atau kulit hewan apa) dan semua jenis keju (tanpa melihat cara dan proses pembuatannya).
Daging kosher, meskipun berasal dari hewan halal, tetapi proses penyembelihannya tidak menyebutkan nama Allah (Jehovah Elohim) karena mereka berkeyakinan bahwa tidak pantas menyebut nama Tuhan yang Suci di tempat yang kotor (rumah potong).
Perbedaan tersebut menyebabkan implikasi yang sangat luas dalam konteks makanan halal. Produk-produk yang mengandung gelatin bisa saja dianggap sebagai makanan kosher. Demikian juga minuman yang mengandung alkohol seperti wine, yang oleh ajaran Islam jelas-jelas haram, di kalangan Yahudi masih diperbolehkan dengan jumlah tertentu.
Di sisi lain, ada juga makanan yang halal dan thayib menurut Islam, tetapi tidak kosher menurut Yahudi. Contohnya adalah kelinci, unggas liar, ikan yang tidak bersirip atau bersisik, kerang, dan tidak boleh makan daging bersama susu kecuali waktu makannya terpisah. Selain itu potongan-potongan daging tertentu, meskipun dari hewan yang halal, juga dianggap tidak kosher.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, halal jelas tidaklah sama dengan kosher. Demikian juga haram tidak sama dengan treyfah. Keduanya memiliki dasar filosofis dan teknis pelaksanaan yang berbeda.
KA Endin, Wakil Direktur LPPOM MUI dan Nur Wahid, Auditor LPPOM MUI.