Oleh: Donny Orlando I Fakultas Teknologi Pertanian UGM I Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian
“Taste modulator can help formulate products that provide a right balance between different taste sensations. To achieve that balance, it is likely that a combinations of solutions are needed which can be customized to suit a particular application” (Donald E. Pszczo)[1]
Makan ternyata bukanlah hanya sebuah aktivitas tanpa penghayatan. Buktinya, kita sebagai konsumen kerap kali memberikan penilaian akan sebuah produk makanan yang disajikan[2]. Kata-kata seperti “enak”, “lezat”, “terlalu asin”, hingga “manis banget” tentu sudah familiar di telinga kita.
Indonesia adalah ensiklopedia makanan dunia. Berbagai macam variasi pangan tradisional tersedia disini melalui cerita panjang asimilasi penduduknya. Tidak hanya itu, ratusan bahkan ribuan sensasi citarasa bumbu masakan pun dapat ditemui di negeri ini. Namun, seiring perkembangan zaman, dunia kuliner Indonesia pun kini ditantang pada penyediaan pangan yang tidak hanya enak di lidah, tapi juga menyehatkan.
Secara umum, kita mengenali lima jenis rasa: manis, asin, pahit, asam, dan umami (gurih). Khusus untuk rasa manis dan asin, keduanya secara gradual mulai dikurangi dari meja makan kita karena alasan kesehatan (obesitas dan hipertensi)[3]. Di sisi lain, rasa pahit dan asam juga kerap tidak disenangi.
Pertama, ekstrak pemanis alami tumbuhan Stevia rebaudiana mulai dikembangkan sebagai alternatif pengganti sukrosa. Pemanis tanpa kalori ini juga mampu memblokir rasa asam dan pahit pada produk. Selain Stevia, bahan lain yang berfungsi sama adalah furanone, maltol, etil maltol, dan vanillin[4]. Bahkan kini ada miraculin, protein dari miracle fruit yang mampu memberikan hanya rasa manis dan menghambat rasa apapun jika dikonsumsi terlebih dahulu.
Kedua, dibandingkan penggunaan garam berlebih, konsumen mulai beralih pada penggunaan campuran ekstrak yeast dan mineral. Campuran ini tidak mengurangi sedikit pun rasa dan tekstur produk yang dihasilkan. Selain itu, campuran ini dapat meningkatkan aroma makanan, meninggikan rasa manis, dan mengurangi rasa pahit[5].
Terakhir, penggunaan MSG (bukan produk natural). Penggunaan zat yang kaya akan asam glutamat ini dalam dosis yang tepat akan memunculkan umami pada makanan, mengurangi kepahitan, pengurangan pemakaian garam dan lemak, dan meningkatkan selera makan. Namun, penggunaan MSG yang berlebih justru memberikan hasil sebaliknya[6]. Fungsi ini juga ditemukan pada asam aspartat, glisin, dan DL-alanin.
Modifikasi citarasa muncul tatkala kita sebagai konsumen mengharapkan sensasi citarasa yang didambakan. Melalui pemahaman akan modulasi citarasa diatas, kita akan mampu memberikan gambaran formulasi dan pengembangan produk pangan tradisional khas Indonesia yang tepat. Tidak usah terburu-buru menambah penyedap rasa jika memang tidak diperlukan. Tentu bukan sebuah prestasi apabila enak di lidah sesaat lantas digantikan oleh pengorbanan kesehatan.
[1] Pszczo, Donald E.. 2010. Taste Modulation: A New Sense. Food Technology Magazine. Edisi Januari 2010 hal 44
[2] Maryoto, Andreas. 2009. Jejak Pangan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas (PBK)
[3] World Health Organization. 2006. Obesity and Overweight. Fact Sheet No. 311. www.who.int diakses tanggal 19 Maret 2010
[4] Horn, Greg. 2009. Harmonizing Sweetness & Taste. Food Technology Magazine. Edisi Desember 2009 hal 20- 29
[5] Pszczo, Donald E.. 2010. Taste Modulation: A New Sense. Food Technology Magazine. Edisi Januari 2010 hal 45
[6] Noguchi, M., Yamashita, M., Arai, S., and Fujimaki, M. 1975. On the bitter-masking activity of a glutamic acid- rich oligopeptide fraction. J. Food Science. 40: 367-369