Oleh Lira Oktaviani
Sweetened condensed milk atau lebih dikenal dalam bahasa Indonesia Susu Kental Manis adalah produk hasil olahan susu yang sudah dikenal cukup lama setelah keju dan yoghurt. Susu Kental Manis (SKM) pertama kali diproduksi di Amerika pada abad ke 18, dan karena sifatnya yang tahan lama, pada saat itu banyak dipakai untuk konsumsi tentara Amerika yang sedang terlibat perang saudara. Pada saat itu SKM diproduksi dengan cara mengevaporasi air dari susu segar secara vakum sebanyak 50% dari total kandungan air di dalam susu segar, kemudian ditambahkan gula sebanyak 45-50% sebagai pengawet.
Kandungan gula (sukrosa) yang tinggi di dalam SKM (rasio sukrosa dalam air,
62.5-64%) menjadikan SKM memiliki umur simpan yang lama, yaitu 12 bulan dalam
kemasan tertutup. Karena umur simpan yang lama tersebut, dan penyimpanannya
cukup di suhu ruang, SKM menjadi solusi produk olahan susu yang mudah
didistribusikan di negara-negara tropis seperti Indonesia.
Industri SKM modern pertama di Indonesia didirikan pada tahun 1967 yang memproduksi
SKM dengan teknologi rekombinasi (bukan dari susu segar). Teknologi rekombinasi
sendiri secara pionir dikembangkan oleh peneliti-peneliti CSIRO (Commonwealth
Scientific and Industrial Research Organization) di Australia sebagai solusi
mengatasi produksi susu segar yang melimpah di negaranya, sementara di belahan
dunia tropis terjadi kelangkaan bahan baku susu segar. Sejak tahun 1970-an,
teknologi rekombinasi menjadi sangat populer di negara-negara Asia Tenggara
seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Srilangka, dan sebagainya
untuk memproduksi segala macam jenis produk susu seperti susu kental manis,
susu evaporasi, susu cair steril, bahkan susu bubuk. Selanjutnya teknologi
rekombinasi merambah ke Timur Tengah dan sekarang ke daratan Cina.
Di negara asalnya, yaitu Amerika dan juga negara-negara maju lainnya, life cycle SKM sudah dianggap pada tahap declining, artinya potensi pasarnya tidak berkembang bahkan cenderung turun. Sebagian kecil masyarakat masih mengkonsumsi susu kental manis sebagai dessert, tea sweetener atau coffee whitener. Hal ini karena susu kental manis dianggap rendah gizi dan terlalu banyak mengandung gula. Kondisi ini sangat berbeda dengan di Indonesia atau negara-negara berkembang lainnya yang sebagian besar masih mengkonsumsi SKM sebagai minuman susu. Pada tahun 1990-an pernah diprediksi bahwa pasar SKM di Indonesia akan declining. Tapi sampai saat ini ternyata pasarnya terus tumbuh.
Menurut survei yang dilakukan oleh Euromonitor pada Maret 2006, pasar susu di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan meningkat sampai dengan tahun 2010, termasuk SKM yang menunjukkan pertumbuhan 8-10% setiap tahun.
Pertumbuhan pasar SKM yang relatif stabil ini diduga karena masih rendahnya daya beli konsumen masyarakat Indonesia akan produk-produk susu. Sampai saat ini SKM masih dianggap sebagai produk susu yang murah.
Menurut standar internasional Codex STAN A-4-1971, Rev.1-1999 untuk Sweetened Condensed Milk dan SNI 01-2971-1998 untuk Susu Kental Manis, suatu produk susu dikategorikan sebagai SKM bila kandungan protein 6.8 – 10% dan lemak 8-10%. Sejak tahun 1987 produsen susu telah memproduksi SKM dengan lemak nabati dan sejak tahun 1996 diproduksi kategori baru yang dinamakan krimer kental manis (KKM). KKM mengandung protein yang lebih rendah dari SKM (2-4 %) tetapi kandungan lemak (nabati) lebih tinggi (10-12 %). KKM ini ditujukan untuk konsumen dengan daya beli yang rendah. KKM belum diatur di dalam Codex maupun SNI, tetapi sudah mulai dimasukkan di dalam SK Kepala BPOM no. HK 00.05.52.4040 tgl 9 Oktober 2006 tentang Kategori Pangan tanpa menyebutkan persyaratan kandungan protein dan lemaknya, sehingga produsen masih bisa bebas berinovasi untuk menekan biaya produk.
Teknologi proses susu kental manis
Hampir semua pabrik produsen SKM di negara berkembang menggunakan teknologi rekombinasi atau semi rekombinasi karena keterbatasan pasokan susu segar. Secara garis besar proses pembuatan SKM ataupun KKM adalah sebagai berikut :
Bahan baku yang dipakai adalah air atau susu segar (jika semi rekombinasi) kemudian bahan-bahan bubuk seperti susu bubuk skim, tepung whey (untuk KKM banyak menggunakan tepung whey karena lebih murah), gula dan coklat bubuk (untuk yang rasa coklat), terakhir adalah lemak (baik lemak susu maupun lemak nabati). Semua bahan ini harus dicampurkan pada suhu 50-55oC dalam mixer berkecepatan tinggi (turbo mixer) karena total padatan pada tahap mixing ini sudah mencapai 68-70%.
Proses homogenisasi dilakukan dalam mesin single stage homogenizer untuk
memecah globula lemak menjadi berukuran maksimal 2 mikron. Tekanan yang
diaplikasikan dalam proses homogenisasi ini berbeda-beda sesuai dengan
formulasi dan kandungan lemak tetapi pada umumnya berkisar antara 700 – 1.100
psi (lbs/inch2). Kemudian campuran dipasteurisasi pada suhu 85-900C selama 30
detik.
Proses evaporasi dilakukan pada kondisi vakum, pada saat ini ditambahkan
butiran laktosa untuk seeding. Proses seeding laktosa ini harus pada suhu yang
tepat, yaitu suhu pada saat terjadinya kristalisasi laktosa karena lewat jenuh
(supersaturated). Butiran laktosa yang dipakai harus berukuran maksimal 10
mikron, sehingga laktosa yang terkristalisasi dalam susu tidak membentuk
cluster (bergerombol) tetapi tersebar merata ke seluruh produk, dibawa oleh butir-butir
laktosa yang halus tadi. Untuk mendapatkan ukuran butiran laktosa maksimal 10
mikron tersebut, biasanya produsen SKM melakukan grinding laktosa sebelum
dipakai. Tetapi sekarang sudah ada micronised lactose dengan ukuran yang
dikehendaki tanpa harus di-grinding dahulu.
Evaporasi dilakukan sampai total padatan akhir di dalam produk mencapai 72-74%. Proses aging adalah proses penyempurnaan kristalisasi laktosa dan penyebarannya, yaitu proses menunggu sambil diaduk selama 2-3 jam sehingga seluruh kristal laktosa tersebar merata ke seluruh produk.
Parameter mutu susu kental manis
Sebagaimana
produk pangan pada umumnya, parameter mutu susu kental manis bisa dibagi dalam
aspek mutu fisika, kimia, mikrobiologi dan organoleptik.
Parameter fisika yang penting bagi konsumen adalah viskositas (kekentalan) dan separasi lemak. Viskositas terutama penting buat konsumen yang menggunakan SKM atau KKM untuk martabak manis. Apabila terlalu encer akan boros, sebaliknya apabila terlalu kental akan susah keluar dari lubang yang dibuat di kalengnya. Kandungan kalsium yang terlalu tinggi dalam produk dapat mengakibatkan viskositas yang terlalu kental, sebaliknya kandungan protein yang terlalu rendah dapat mengakibatkan viskositas yang terlalu encer. Formulasi yang tepat dan kualitas bahan baku yang baik akan menghasilkan viskositas yang dikehendaki oleh konsumen. Separasi lemak pada umumnya terjadi apabila proses homogenisasi tidak efektif dan atau rasio lemak terhadap protein kasein di dalam formula lebih besar dari 5:1.
Produk KKM sangat rentan terhadap separasi lemak karena produk tersebut mengandung lemak tinggi dan rendah protein (kasein). Separasi lemak mengakibatkan penumpukan lemak di bagian atas kaleng sehingga pada waktu kaleng dibuka seolah-olah susu menggumpal. Penambahan emulsifier yang tepat dapat membantu mencegah terjadinya separasi lemak. Parameter kimia adalah menyangkut kandungan zat-zat gizi di dalam produk seperti lemak, protein, gula (sukrosa) dan lainnya.
Hal
penting untuk daya simpan, keamanan dan organoleptik produk SKM dan KKM adalah
kandungan gula (sukrosa) yang dinyatakan dalam persentase SWR (sucrose water
ratio). Nilai SWR yang ideal adalah 62.5 – 64%. Apabila nilai SWR di bawah
62.5% maka produk SKM / KKM tersebut akan rentan terhadap kerusakan
mikrobiologi selama penyimpanan, karena kandungan sukrosanya belum memadai
untuk membentuk tekanan osmotik di dalam produk sebesar 140 atmosfir yang bisa
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebaliknya apabila nilai SWR di atas 64% maka
akan rentan terhadap kristalisasi gula yang membuat tekstur SKM tersebut
menjadi kasar.
Parameter mikrobiologi menyangkut kandungan mikroba yang berhubungan dengan keamanan pangan tidak berbeda dengan produk pangan lainnya seperti coliform, E. coli, Salmonella, Staphylococcus. Selain itu kandungan mould dan yeast juga penting untuk dikendalikan. Apabila kandungan mould / yeast melebihi spesifikasi maksimum yang diperbolehkan atau apabila gula yang dipakai mengandung gula pereduksi (gula tunggal), maka akan terjadi fermentasi selama penyimpanan yang menyebabkan terbentuknya gas (kaleng gembung). Selain itu gula pereduksi juga menyebabkan terjadinya reaksi Maillard sehingga warna SKM menjadi cepat tua (kecoklatan).
Parameter organoleptik yang penting adalah sandiness (tekstur kasar seperti berpasir). Sandiness terjadi apabila seeding laktosa tidak sempurna yang disebabkan oleh jumlah laktosa tidak tepat, butiran laktosa terlalu besar atau suhu seeding tidak tepat, bisa juga karena SWR yang terlalu tinggi (melebihi 64%) sehingga gula mengkristal.
Teknologi proses SKM sebenarnya tidak berubah secara signifikan sejak pertama kali ditemukan, sehingga termasuk teknologi yang cukup lama. Justru yang banyak mengalami perubahan adalah formulasi SKM karena tuntutan akan produk yang affordable (terjangkau oleh daya beli masyarakat). Sejak tahun 1996 telah diproduksi sejenis produk SKM tetapi dengan protein yang lebih rendah sehingga lebih murah. Produk tersebut dinamakan Krimer Kental Manis (KKM). Pada umumnya formulasi KKM menggunakan sweet whey powder (SWP) sebagai pengganti skim milk powder.
Harga SWP jauh lebih murah dibandingkan SWP, tetapi kandungan proteinnya lebih rendah dan kalsiumnya lebih tinggi. Perbedaan komposisi ini akan mempengaruhi viskositas produk akhir sehingga di dalam formula perlu ditambahkan sequestran untuk mengikat kalsium bebas, starch untuk menambah total padatan dan karagenan untuk mengatur kekentalan. Total padatan di produk akhir harus minimal 72% untuk menjaga SWR tidak terlalu rendah. Dengan adanya penambahan SWP, starch, dan karagenan harus diperhatikan proses mixing karena ketiga bahan tersebut memerlukan kondisi tertentu agar larut dengan sempurna. Lemak di dalam KKM pada umumnya adalah lemak nabati (palm oil atau coconut oil) dan kandungan lemaknya biasanya lebih tinggi daripada SKM untuk menambah total padatan.
Oleh karena itu, KKM lebih rentan terhadap terjadinya separasi lemak, sehingga harus dicari kondisi proses homogenisasi yang paling efektif yang meliputi suhu dan tekanan di homogenizer. Penambahan emulsifier pada umumnya efektif mencegah separasi lemak, hanya perlu dicari emulsifier yang tepat sehingga tidak memberi dampak terhadap organoleptik. Pelarutan emulsifier juga perlu diperhatikan karena emulsifier yang tidak larut sempurna tidak akan efektif. Biasanya dilarutkan di dalam lemak terlebih dahulu pada suhu tertentu, sebelum bercampur dengan bahan-bahan yang lainnya. Pemakaian butter milk powder (BMP) biasanya cukup membantu mencegah separasi lemak karena BMP kaya dengan phospholipid dari susu yang berfungsi sebagai emulsifier yang efektif.
Lira Oktaviani, Direktur
PT Milko Beverage Industry
Sumber : https://foodreview.co.id/blog-55696-Perkembangan-Industri-Susu-Kental-Manis-Indonesia.html