ipb.ac.id- Mau laku dagang makanan? Gampang, cantumkanlah dalam labelnya bebas atau nonkolesterol. Kalau tidak percaya, tanyalah pada penjual kacang. Bebas kolesterol rupanya telah dianggap ungkapan sakti. Produk yang mencantumkan ”gelar” itu dianggap bakal laris atau paling tidak bisa menjatuhkan saingannya.
Begitu pun pada minyak goreng, tapi mungkin lantaran sudah dianggap umum dan semua orang tahu bahwa kolesterol bukan berasal dari bahan nabati, persaingan rayuan lalu meningkat, meluncurkan kata-kata manis seperti ”Penyaringan dua kali”, ”Mengandung omega-9”; ”Sejernih akal sehat”; dan sebagainya.
Meski sebetulnya kurang memiliki arti — karena sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakannya untuk menggoreng — bagi konsumen awam, rayuan tersebut bisa membuatnya terjebak.
Sama saja
Bahan dasar minyak goreng bisa bemacam-macam: kelapa, sawit, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski beragam, secara kimia isi kandungannya sebetulnya tak jauh beda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil kemungkinan terdapat juga lesitin, cephalin, fosfatida lain, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, dan hidrokarbon, termasuk karbohidrat dan protein. Hal yang kemudian berbeda adalah kompisisinya. Minyak sawit mengandung sekira 45,5% ALJ yang didominasi asam lemak palmitat dan sekira 54,1% ALTJ yang didominasi asam lemak oleat —sering juga disebut omega-9. Minyak kelapa mengandung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 9% komposisinya adalah ALTJ.
Oleh pemrosesan, tampilan minyak goreng bisa berbeda juga, ada yang jernih dan ada yang keruh. Supaya tidak mudah teroksidasi, beberapa produsen kerap menambahkan antioksidan ke dalam produknya.
Perbedaan tersebut bisa berpengaruh terhadap kesehatan pengkonsumsinya. Dicontohkan Prof.Dr. Ali Khomsan —Dosen Pascasarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian Bogor— berdasar hasil penelitian mahasiswanya pada kelinci percobaan, kelinci yang diberi makanan mengandung minyak sawit menunjukkan penurunan kolesterol yang tajam dibandingkan dengan kelinci yang diberi makanan mengandung minyak kelapa (”Republika”, 15/2). Dengan kata lain, kalau anda ingin buru-buru menurunkan kolesterol maka pilihlah minyak goreng yang mengandung ALTJ tinggi.
Akan tetapi, ceritanya jadi lain manakala minyak tersebut dimanfaatkan sebagai media penggorengan —bukan minyak makan seperti bumbu salad atau bahan dasar mayonaise. Prof. Dr. Tien Muchtadi, pengajar Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor mengatakan ketika dipakai menggoreng, semua minyak sama sehatnya untuk orang yang tidak sensitif terhadap asam lemak darah. Alasannya, pada suhu penggorengan (200 derajat Celcius), rantai kimia minyak akan terurai. Dengan demikian, penggunaan minyak nabati yang diklaim tinggi asam lemak tak jenuhnya seperti minyak jagung, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai sebenarnya tidak memberikan banyak manfaat (”Kompas”, 23/7). Demikian juga dengan minyak yang disaring dua kali yang tampilannya jernih atau yang telah ditambahkan antioksidan.
Jadi, jika anda ingin merasakan manfaat maksimal bagi kesehatan dari perbedaan minyak goreng, minyak tersebut sebaiknya diminum langsung atau tidak digunakan sebagai media penggorengan.
Efek negatif
Penggunaan minyak sebagai media penggorengan bisa menjadi makanan gurih dan renyah, namun pada bahan makanan tertentu perlakuan tersebut justru dapat merugikan. Beberapa zat gizi yang dikandungnya bisa rusak karena tidak tahan terhadap panasnya. Bahan makanan kaya omega-3 —yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah— akan tidak berkhasiat bila digoreng sebab komposisi ikatan rangkapnya rusak.
Di sisi lain, rupanya tidak setiap orang bisa menikmati kegurihan dan kerenyahan itu dalam jangka panjang. Periset Australia menemukan, makanan dengan margarin dan minyak nabati tinggi ternyata bisa melipatduakan kemungkinan anak-anak untuk menderita asma. Kesimpulan diperoleh berdasar penelitian pada orang tua dari 1.000 anak usia 3-5 tahun.
Menurut Dr. Michele Haby, peneliti Royal Children’s Hospital Melbourne dan pimpinan penelitian, seperlima anak-anak itu mengalami asma dan risiko untuk mendapat asma menjadi dua kali lipat jika orangnya juga mengidapnya (koran ”Tempo”, 20/7/2001).
Bagi mereka yang sudah menderita gangguan hiperlipidemia, dianjurkan Walujo Soerjodibroto —Dosen bagian Gizi FKUI dan dokter ahli Gizi Rumah Sakit Tebet Jakarta— untuk menjauhi semua jenis minyak goreng karena akan memancing terjadinya pembentukan kolesterol yang berlebihan pada tubuh. (”Kompas”, 8/1/1995).
Minyak rusak
Terutama oleh pedagang goreng-gorengan pinggir jalan, minyak goreng sering dipakai berulang-kali tak peduli apakah warnanya sudah ubah —menjadi coklat tua sampai hitam— atau belum. Alasan yang diketemukan simpel saja, demi mengirit biaya produksi. Minyak yang telah dipakai menggoreng biasa disebut minyak jelantah. Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan minyak yang telah rusak.
Minyak yang tinggi kandungan LTJ-nya memiliki nilai tambah hanya pada gorengan pertama saja, sementara yang tinggi ALJ-nya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan rusak juga. Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi jenuh. Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Penelitian pada binatang menunjukkan gugus peroksida dalam dosis yang besar dapat merangsang terjadinya kanker kolon, tapi kerusakan tidak hanya terjadi karena dipakai menggoreng. Penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkannya pula karena pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/ FFA). Selain menyebabkan tengik, FFA juga bisa menaikkan kolesterol darah.
Kerusakan minyak tidak bisa dicegah, namun dapat diperlambat dengan memperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, oksigen. Semakin banyak oksigen semakin cepat teroksidasi; Kedua, ikatan rangkap. Semakin banyak ALTJ-nya semakin mudah teroksidasi; Ketiga, suhu. Suhu penggorengan dan penyimpanan yang tinggi akan mempercepat reaksi; Keempat, cahaya serta ion logam tembaga (Cu++) dan besi (Fe++) yang merupakan faktor katalis proses oksidasi; dan Kelima, antioksidan. Semakin tinggi antioksidan ditambahkan semakin tahan terhadap oksidasi.
Meski demikian bukan berarti minyak rusak tidak dapat membuat makanan lezat. Faridatus Saa’adah dkk. dari SMU BPTT Lamongan —juara III LKIR tingkat nasional beberapa waktu lalu— telah membuktikan, pengolahan kembali dengan mencampurkan perasan buah mengkudu dapat meningkatkan mutu minyak rusak (”Republika”, 12/4).
Caranya : Buah mengkudu masak —satu mengkudu untuk seperempat liter minyak— ditumbuk dan diperas untuk diambil sarinya. Sari ini lalu dicampur minyak goreng yang telah berulangkali dipakai. Setelah tercampur dibiarkan selama kurang 5 sampai 10 menit, selanjutnya diendapkan, dipanaskan pada suhu 50 derajat Celcius, dan terakhir disaring.
Bahan lain yang juga mampu berbuat hal serupa adalah arang tempurung dan lidah buaya. Subetty, siswa SMU Stela Duce 1 Yogyakarta —pemenang I bidang teknologi LKIR-LIPI tahun 2001— berdasar penelitiannya menyimpulkan, perendaman arang tempurung dan lidah buaya dalam minyak jelantah sisa penggorengan selama 24 jam, terbukti memperbaiki kualitas khemis maupun fisik minyak. Bahan yang terbukti lebih baik dalam meningkatkan kualitas minyak adalah lidah buaya (”Republika”, 25/2). Perlakuan itu dapat menurunkan dampak negatif terhadap kesehatan meliputi penurunan FFA sebanyak 58,3% dan penurunan angka peroksida sebesar 75%.
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1002/20/1001.htm