foodreview, Untuk menghindari kerusakan, maka daging perlu diawetkan. Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan pengawet yang termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan (BTP). Namun masyarakat sekarang merasa ketakutan apabila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Padahal, ketakutan ini tidak perlu terjadi. BTP sebenarnya adalah bahan aditif yang mengandung senyawa-senyawa kimia, misalnya natrium klorida, senyawa nitrit/nitrat, senyawa phosphate, dan lainnya yang telah diijinkan penggunaannya. Namun yang menjadi pertanyaan apa jenis pengawet yang cocok untuk produk olahan daging, bagaimana dengan keamanan dan ambang batas penggunaan, dan amankah bahan pengawet tersebut bagi kesehatan konsumen?
Bahan-bahan yang umum digunakan untuk pengawetan produk olahan daging antara lain adalah 1) garam (sodium chloride), 2) alkaline phosphates (sodium tripolyphosphate), 3) sweetener seperti dextrose, sukrosa dan sorbitol, 4) sodium atau potassium nitrite digabungkan dengan sodium atau potassium erythorbate atau ascorbate, 5) sodium laktat atau potassium lactate, 6) sodium acetate dan diacetate, 7) liquid smoke, 8) antioxidan seperti butylated hydroxy anisole (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT) propyl gallate (PG), alpha tocopherols. Terdapat pula beberapa asam yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada karkas unggas. Karkas ayam yang dicelupkan dalam larutan asam laktat atau asam sitrat mempunyai masa simpan yang lebih lama.
Bahan pengawet juga dapat berasal dari curing agents. Curing agents yang klasik untuk daging terdiri dari suatu campuran sodium chlorida, sodium nitrit dan/atau sodium nitrat, gula (dekstrosa, sukrosa, hidrolisat pati, dan lain-lain). Bumbu-bumbu dapat ditambahkan dengan tujuan utama untuk flavoring atau penambahan rasa. Dalam konsentrasi yang telah ditetapkan, campuran curing secara bersama berfungsi sebagai sumber pengawet yang efektif. Ketika digunakan secara bersama maka bahan curing bertindak sebagai pengawet yang lebih baik dibanding komponen-komponen individu pengawet.
Memilih pengawet untuk olahan daging harus memperhatikan jenis olahan daging. Daging olahan lokal seperti abon, dendeng, bakso mempunyai karakteristik produk yang berbeda. Abon adalah produk daging olahan kering yang mempunyai kadar air rendah. Menurut SNI 1995 maksimum kadar air abon adalah 7% dan dengan bahan pengawet gula sebesar maksimum 30%. Rendahnya kadar air dan tambahan bahan pengawet gula dan garam menyebabkan produk daging olahan dapat tahan berbulan-bulan (sekitar 6 bulan).
Dendeng merupakan produk daging olahan yang agak kering dengan kadar air maksimum 12%. Bahan pengawet yang umum digunakan untuk dendeng adalah gula, sendawa dan garam. Bakso dan sosis adalah produk olahan daging yang basah. Bakso biasa dibuat dengan bahan tambahan pangan seperti garam, phosphate, dan bumbu-bumbu. Kadar air maksimum yang diperbolehkan menurut SNI 1995 adalah 70%.
Pembuatan sosis biasanya menggunakan bahan pengawet garam, sodium phosphate, gula dan asam. Kadar air yang diperbolehkan maksimal 67%. Corned beef diproses dengan bahan-bahan pengawet antara garam, nitrat, atau nitrit, dan atau kombinasi nitrat dan nitrit.
Produk sosis, bakso dan corned beef merupakan produk olahan daging yang basah dan BTP yang ditambahkan dalam jumlah tidak ekstrem, sehingga masih memerlukan perlakuan lain untuk menghindari kerusakan seperti kemasan, pendinginan dan atau pembekuan.
Garam sodium klorida yang food grade seyogyanya di gunakan untuk pengawet daging. Namun, konsumen sekarang menghendaki pengurangan penggunaan garam sodium (NaCl) karena kaitannya dengan hipertensi. Untuk itu garam potasium klorida dapat digunakan untuk menstubsitusi NaCl sampai dengan level 40%. Namun pengawetan dengan garam ini perlu mendapat perhatian karena apabila garam dikonsumsi secara berlebihan dapat memicu penyakit darah tinggi. Untuk preservatif yang efektif, kandungan air produk akhir sebaiknya sekitar 50 – 55% dan kandungan garamnya sebaiknya antara 9-11%. Dengan kata lain pangan dalam keadaan mendekati titik jenuh dan ini akan menjaga good keeping quality.
Bahan pengawet yang dilarang digunakan antara lain adalah asam borat/ boric acid, asam salisilat/salicilic acid, kalium klorat, kloramfenikol dan formalin.
Bahan pangawet pangan harus digunakan sesuai dengan petunjuk dan regulasi yang telah ditetapkan pihak berwenang. Antioksidan seperti BHA, BHT, TBHQ (tertiary butyl hidro quinone), dan PG ditambahkan pada produk tidak melebihi 0,01% atau 0,02%. Batas maksimum penggunaan sodium atau potasium laktat di Amerika adalah 2,9%. Sodium acetate dan diacetate digunakan dengan level maksimum sampai dengan 0,25%. Konsentrasi asam laktat yang digunakan adalah 0,12%. Penelitian lain menunjukkan bahwa asam sorbat adalah bahan pengawet yang efektif (effective preservatives) dengan konsentrasi larutan 7, 5 % asam sorbat yang disemprotkan ke atas karkas dingin.
Pengaruh penggunaan pengawet terhadap karakter dan
mutu produk daging
Bahan pengawet mempunyai antioksidan BHA, BHT, TBHQ (tertiary butyl hidroquinone), dan PG menunda oksidasi lemak pada daging unggas. Sodium atau potassium laktate serta sodium acetate dan diacetate terbukti digunakan sebagai flavoring agents dalam daging, mereka berfungsi sebagai acidulants, flavoring agents dan sebagai agen antimikroba.
Garam sodium klorida merupakan bahan pengawet alami yang telah digunakan masyarakat luas selama bertahun-tahun. Di samping mempunyai fungsi sensoris dalam hampir semua produk daging, garam juga mempunyai aksi pengawet/ kemampuan mengawetkan produk olahan daging. Garam juga membantu dalam ektraksi protein-protein terlarut yang akan membantu dalam pengikatan produk daging restruktur (nugget, sosis, dan bakso).
Garam adalah ingridien yang terpenting dalam campuran bahan curing untuk daging dan berfungsi 1) untuk pemberi rasa produk, 2) menurunkan aktivitas air dan meningkatkan ionic strength (meningkatnya tekanan osmotik medium pangan) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, 3) membantu solubilisasi protein otot yang berfungsi sebagai pengikat partikel daging, 4) penurunan air jaringan otot pada konsentrasi tinggi (5-8%), 5) bertindak sebagai sinergis dalam kombinasi dengan sodium nitrite untuk mencegah pertumbuhan Clostridium botulinum.
Konsentrasi garam yang digunakan dalam produk unggas biasanya berkisar antara 1,5 – 3%. Pada konsentrasi garam 2% sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya, namun mikroorganisme lain, yeast dan jamur masih dapat tumbuh. Berdasarkan akseptabilitas flavor maka konsentrasi garam yang dapat diterima adalah 2-3%. Untuk produk-produk yang mempunyai kadar air 60% atau lebih seperti franks, bologna, ham dan bakso, jelas bahwa kadar garam 1,5 – 3% tersebut tidak dapat memberikan efek pengawet yang signifikan. Meskipun demikian garam yang dikombinasikan dengan bahan lainnya dapat berguna untuk menjaga stabilitas produk.
Nitrit dan nitrat adalah bahan kimia yang sering digunakan sebagai bahan curing. Penggunaan nitrat mempunyai manfaat yaitu menghasilkan pigmen daging yang stabil dan flavor daging yang meningkat serta daya ikat air daging yang semakin kuat. Konsentrasi nitrit dalam produk tidak boleh melebihi 156 ppm. Bahkan untuk produk tertentu dibatasi < 120 ppm dan harus disertai sodium erythorbat/askorbat sebanyak 550 ppm untuk mencegah terbentuk senyawa karsinogenik nitrosamines.
Phosphates telah digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging dengan cara menurunkan angka bakteri. Alkaline phosphate yang digunakan adalah sodium tripolyphosphate, sodium hexametaphosphate, sodium acid pyrophosphate, dan disodium phosphate dapat digunakan secara sendiri atau kombinasi. Perendaman karkas selama 6 jam dalam larutan fosfat pada konsentrasi 10 ounce (283,5 g) untuk satu galon air (4,55 l) atau 6,23% dapat meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Alkaline phosphate untuk kyuring telah digunakan secara meluas di Amerika.
Sodium atau potassium tripolyphosphate yang ditambahkan pada produk olahan daging dapat digunakan 1) untuk mempertahankan warna produk (retensi warna), 2) mengurangi jumlah penyusutan ketika pemasakan (mereduksi cairan yang keluar), 3) meningkatkan kemampuan mengikat air atau menaikkan nilai WHC (Water Holding Capacity) protein otot, 4) menjaga juiciness, 5) menaikkan pH produk daging, 6) meningkatkan yield produk, 7) membantu dalam ekstraksi protein otot yang terlarut dalam garam, 8) meningkatkan flavor daging, 9) menghambat ransiditas oksidatif. Konsentrasi phosphate dalam produk akhir tidak lebih dari 0,5%.
Sodium atau potassium laktate ditambahkan pada produk daging untuk memperpanjang masa simpan, mengontrol pertumbuhan pathogen, meningkatkan rasa garam, meningkatkan tekstur dengan menurunkan kehilangan air. Level maksimum penggunaan di Amerika adalah 2,9%.
Sodium acetate dan diacetate terbukti digunakan sebagai flavoring agents dalam daging dengan level maksimum sampai dengan 0,25%. Keduanya berfungsi sebagai acidulants, flavoring agents dan sebagai agen antimikrobia.
Gula dapat dijuga digunakan sebagai bahan pengawet, namun konsentrasi yang sangat tinggi diperlukan dalam pangan untuk dapat berfungsi sebagai suatu pengawet. Namun konsentrasi dalam daging curing biasanya jauh lebih rendah. Kombinasi gula dan asam asetat/ asam cuka dapat pula digunakan untuk mengawetkan daging giling. Dalam produk sosis yang difermentasi gula berfungsi sebagai preservatif tidak secara langsung sebagai hasil fermentasi menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Turunnya pH dalam daging olahan dan penambahan garam serta sedikit dehidrasi (turunnya kadar air) menghasilkan stabilitas yang tinggi dari produk ini.
Edi Suryanto, Ph.D.
Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta
Referensi
Anonimus, 2005. Produksi daging, telur dan olahannya. Kumpulan Standar Mutu, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian.
Lehninger, A.L., 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishers Inc., New York.
Price, J.F. And B.S. Schweigert, 1971. The Science of Meat and Meat Products. W.H. Freeman and Company, San Francisco.
Sams, A.R., 2001. Poultry Meat Processing. CRC Press, London.
Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta.