REPUBLIKA.CO.ID,
REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum 2000-an, sushi termasuk makanan berkelas.
Sushi hanya ditemukan di restoran Jepang ternama atau
hotel-hotel berbintang. Harganya pun cukup mahal.
Akan tetapi, kini sushi menjadi santapan yang mudah
ditemukan. Penggemar sushi bisa mendapatkannya di mal, restoran, hingga
kedai-kedai. Harganya pun lebih bersahabat.
Kehadiran makanan Jepang yang satu ini tentunya menjadi
alternatif makanan, termasuk umat Islam. Tapi, jangan silau dulu, kata Wakil
Direktur LPPOM MUI Ir Muti Arintawati.
Sebagaimana produk makanan atau minuman lain tentu dituntut
kejelian dan kehati-hatian. "Ini menyangkut soal status kehalalan dan
ketayiban bahan yang digunakan," ujarnya.
Muti menjelaskan, sushi banyak variasinya, terdiri atas beberapa komponen, yaitu sushi-meshi campuran Japanese rice dan rice vinegar, ditambah gula, garam, terkadang ditambah kombu (sejenis rumput laut) dan sake.
Muti menjelaskan, sushi banyak variasinya, terdiri atas beberapa komponen, yaitu sushi-meshi campuran Japanese rice dan rice vinegar, ditambah gula, garam, terkadang ditambah kombu (sejenis rumput laut) dan sake.
Dari komponen tersebut, Muti menilai, bahan yang paling kritis dicermati ialah penggunaan daging. Daging hewan apakah yang dipakai sebagai bahan dasarnya. Bila berasal dari daging hewan haram, seperti babi, maka sudah jelas hukumnya diharamkan.
Jika bukan berasal dari daging babi, harus ditelusuri proses
pemotongannya. Karena pemotongan yang tidak sesuai dengan kaidah penyembelihan
yang digariskan syariat, hukum daging tersebut bisa dinyatakan bangkai dan
najis. “Tak boleh dikonsumsi Muslim,” kata Muti.
Hingga kini, belum terdapat restoran Jepang penjaja sushi
yang mengajukan sertifikasi halal usaha mereka.
Untuk bumbu-bumbu yang diramu bersama sushi, ada beberapa
nama yang digunakan. Di antaranya, produk fermentasi kedelai (shoyu, soy sauce),
wasabi, Japanese style mayonnaise yang mengandung rice vinegar, serta MSG.
Yang perlu dicermati adalah pemakaian mirin dan sake. Keduanya
adalah minuman beralkohol khas Jepang.
“Sake dan mirin tergolong minuman keras (khamar). Hukumnya
jelas-jelas diharamkan penggunaannya meskipun hanya sekecil apa pun,” tegas
Muti.
Selain itu, waspadai pula saus yang digunakan di makanan
Jepang. Walaupun saus itu bahannya dari kedelai, menurut Muti, peluang
penggunaan bahan tambahan yang kritis tetap ada. Demikian halnya dengan
vinegar, yaitu asam cuka.
Dia mengutip kesimpulan yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa
MUI. Lembaga itu berpendapat vinegar halal. Pada masa Rasulullah SAW bahan
haram yang berubah menjadi halal adalah khamar yang berubah menjadi cuka.
“Jadi, cuka hasil fermentasi bukan termasuk khamar sehingga boleh
(dikonsumsi).”
Meski demikian, dia tetap mengingatkan agar selektif. Hal
ini mengingat banyak produk vinegar yang beredar di pasaran. Tentu dengan
beragam jenis dan bahan dasarnya. “Ini yang harus dicermati,” katanya.
Selain itu, Muti menyayangkan, animo masyarakat yang tinggi terhadap panganan itu tak diimbangi dengan kesadaran dari pelaku usaha sushi. Hingga kini, belum terdapat restoran Jepang penjaja sushi yang mengajukan sertifikasi halal usaha mereka.
Selain itu, Muti menyayangkan, animo masyarakat yang tinggi terhadap panganan itu tak diimbangi dengan kesadaran dari pelaku usaha sushi. Hingga kini, belum terdapat restoran Jepang penjaja sushi yang mengajukan sertifikasi halal usaha mereka.
Dia mengimbau agar konsumen Muslim tetap jeli dan cermat.
Sebelum memutuskan untuk menyantap makanan tersebut, alangkah baiknya bertanya
kepada pihak restoran terkait kehalalan dan ketayibannya. “Tak ada salahnya
menanyakan aman atau tidaknya (sushi) dikonsumsi,” demikian Muti Arintawati.