Halal Guide, Sirup, siapa yang tak kenal dengan minuman segar yang kerap
disajikan dengan aneka warna-warni itu? Sirup merupakan minuman praktis yang sering disuguhkan di berbagai
perjamuan. Selain itu, sirup juga menjadi salah satu hidangan favorit untuk
berbuka puasa di bulan Ramadhan.
Di setiap rumah
Muslim, setiap bulan Ramadhan hingga Idul Fitri, sirup hampir selalu ada.
Bahkan aneka
minuman dengan campuran sirup biasanya menjadi minuman istimewa saat berbuka
puasa di bulan Ramadhan. Rasanya kurang pas jika berbuka puasa tidak meminum
minuman segar tersebut.
Di hari raya Idul
Fitri, sirup juga menjadi hidangan minuman pilihan. Selain praktis dalam
menghidangkan, sirup juga mudah diperoleh di warung-warung sekitar rumah.
Karena sangat digemari
dan beredar di warung-warung dan supermarket, maka sebagai Muslim hendaknya
perlu mencermati titik kritis haram yang mungkin terkandung di dalam olahan
sirup. Seperti layaknya produk olahan, sirup juga memiliki titik kritis
keharaman yang perlu diwaspadai.
Titik Kritis
Haram
Wakil Direktur
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia,
(LPPOM MUI), Ir. Muti Arintawati mengatakan, bahan terbesar produk sirup adalah
air. Namun, untuk membuat sirup diperlukan bahan-bahan lain yang harus
ditambahkan, agar sirup terasa semakin enak, segar, dan menarik dari segi
penampilan.
Muti Arintawati
menjelaskan, bahan-bahan tambahan yang terkandung dalam sirup biasanya terdiri
dari gula, garam, konsentrat buah, pewarna, flavor, penatur keasaman, pengawet,
stabilizer, dan pemanis buatan. Mengingat banyaknya bahan tambahan yang
terkandung di dalam sirup, Muti Arintawati berpesan agar konsumen Muslim
senantiasa berhati-hati, karena sirup juga mengandung bahan-bahan yang dianggap
mempunyai titik kritis keharaman.
Bahan seperti
gula, konsentrat buah, flavor, serta pengatur keasaman, dan pemanis buatan
memiliki titik kritis keharaman yang perlu diwaspadai setiap konsumen muslim.
Gula misalnya,
walaupun berasal dari nabati, status kehalalannya bisa menjadi sumir, bisa
halal atau haram. Dalam istilah fiqihnya disebut syubhat. Sumber bahan baku
gula adalah tebu atau bit. Namun di dalam proses pengolahannya hasil ekstrak
tebu atau bit yang halal tersebut bersinggungan dengan bahan tambahan lain yang
mungkin tidak halal.
Hal ini lebih
banyak terjadi pada gula yang mengalami proses pemutihan. Dalam dunia industri,
gula jenis ini disebut gula rafinasi. Titik kritis keharaman dari gula rafinasi
terletak pada proses [I]refinery[/I], yakni tahap proses yang menggunakan bahan
tertentu dalam memutihkan gula tersebut.
Bahan yang
dianggap bermasalah dalam proses pemutihan ini adalah penggunaan arang aktif.
Dari aspek bahan, arang aktif bisa berasal dari tempurung kelapa, serbuk
gergaji, batu bara, atau tulang hewan. Jika menggunakan bahan-bahan nabati,
maka tentu tak perlu diragukan kehalalannya. Namun jika arang aktif tersebut
berasal dari tulang babi, jelas gula tersebut menjadi haram. Sedangkan jika
arang aktifnya berasal dari sapi, maka harus dipastikan bahwa sapi tersebut
disembelih secara syariah.
“Jadi titik
kritis keharamannya adalah tulang hewan. Sebab apa pun yang berasal dari hewan,
kalau untuk dikonsumsi harus dipastikan berasal dari hewan halal dan disembelih
sesuai syar’i, tentu saja termasuk tulang di dalamnya,” tegas Muti Arintawati.
Bahan lain di
dalam sirup yang harus dikritisi adalah adanya konsentrat. Konsentrat buah
merupakan bahan tambahan untuk menambah rasa sirup sehingga mirip atau sama
dengan buah tertentu, misalnya jeruk, jambu, mangga, atau lainnya. Sepintas,
konsentrat buah ini memang tidak akan bermasalah bila dilihat status
kehalalannya. Tetapi walaupun berasal dari buah, konsentrat pun bisa jadi
menggunakan bahan penolong yang tidak jelas status kehalalannya.
Untuk membuat
konsentrat buah agar tidak keruh, misalnya, diperlukan bahan penolong seperti
enzim atau gelatin. Kalau berbicara enzim, maka yang harus dipastikan adalah
sumber enzimnya, apakah berasal dari tumbuhan, hewani, atau mikrobial.
Jika enzim
tersebut diperoleh dari enzim yang diolah secara mikrobial, maka harus
dipastikan menggunakan media yang bebas dari bahan haram dan najis. Jika
penjernih sirupnya menggunakan gelatin, maka harus dipastikan bahwa gelatin
tersebut berasal dari sumber yang halal. Karena didalam dunia industri, bahan
baku gelatin berasal dari tulang dan kulit hewan. Masalahnya, gelatin yang
digunakan di Indonesia kebanyakan berasal dari luar negeri.
Jadi, gelatin
halal amat terbatas. Karena seperti yang sudah dijelaskan di atas, setiap bahan
yang berasal dari hewan, maka harus dipastikan berasal dari hewan halal dan
disembelih secara Islami.
Selain
ditambahkan konsentrat buah, rasa sirup tersebut juga berasal dari perisa
(flavor). Tanpa zat-zat tersebut, maka bisa dibayangkan betapa sulitnya
produsen sirup untuk memproduksi sirup jika perasa buahnya berasal dari
buah-buahan segar. Sebab, buah-buahan segar tidak selalu ada karena sifatnya
yang musiman.
Faktor standar
rasa juga bermasalah, jika menggunakan buah segar. Oleh karena itu, rasa buah
menjadi standar jika produsen menggunakan perisa buah tertentu dengan takaran
tertentu pula. Yang menjadi masalah, perisa buah yang dibuat secara industri
kadang-kadang unsur buahnya tidak terdapat di dalam flavor tersebut. Bahkan
perisa buah bisa berasal dari sintesa bahan-bahan kimia tertentu, yang harus
dikritisi pula status kehalalannya.
Selain itu,
pengatur keasaman juga bisa bermasalah dari aspek kehalalan. Salah satunya
adalah asam sitrat. Karena asam sitrat merupakan produk mikrobial, sehingga
diproses secara mikrobial pula. Produsen bahan ini harus menggunakan media
pertumbuhan mikroba yang bebas dari bahan haram dan najis.
Bahan lain yang
juga mengundang tanda tanya dari aspek kehalalan adalah pemanis buatan. Pemanis
buatan yang bisa bermasalah adalah aspartam. Pemanis buatan ini terdiri dari
dua asam amino yakni fenilalanin dan asam aspartat.
Karena biasanya
dua asam amino ini juga diolah secara mikrobial, maka tentu harus memenuhi
persyaratan halal produk mikrobial. Jadi, untuk menghindari mengonsumsi sirup
yang tidak jelas kehalalannya, maka konsumen sebaiknya mengonsumsi sirup yang
sudah bersertifikat halal MUI.
Sebagai Muslim,
memperhatikan kehalalan setiap produk yang hendak dikonsumsi merupakan sebuah
keharusan. Begitu juga sebelum menentukan pilihan untuk mengonsumsi sirup.
Kabar baiknya,
saat ini telah banyak produk sirup yang telah bersertifikat halal MUI. Hanya
dengan memperhatikan logo halal MUI pada kemasan sirup yang hendak dibeli,
InsyaAllah kita terbebas dari produk makanan dan minuman yang tidak terjamin
kehalalannya. (FM).
(Sumber: Jurnal Halal)