Foodreview.biz- Wajah berkeringat, napas terengah-engah, jantung berdebar lebih kencang dan air mata meleleh, itulah reaksi tubuh yang ekstrim saat “sakit/panas” timbul akibat mengunyah makanan yang mengandung cabe. Di samping reaksi tersebut, sebenarnya ada reaksi lain yang timbul setelahnya: kelegaan dari sakit (pain relief). Aliran darah terisi oleh endorphin setelah sel-sel syaraf reseptor di rongga mulut teraktivasi teraktivasi memicu sistem syaraf pusat memerintah penghasil endorphin untuk mengeluarkannya. Sesuai namanya yang mirip dengan morphin, endorphin dihasilkan tubuh menimbulkan efek yang mirip dengan obat penenang tersebut.
Sensasi tersebut biasa disebut sensasi pedas yang tidak termasuk dalam jenis rasa (manis, pahit, asam, asin dan gurih). Ada 2 jenis dasar sensasi yaitu sensasi sentuhan dan sensasi sakit/suhu. Sensasi sentuhan ditanggapi tubuh secara cepat/seketika, sementara sensasi sakit/suhu membutuhkan jeda waktu tertentu sampai pusat syaraf menanggapinya. Sensasi pedas sejenis, bahkan terkadang sulit dibedakan, dengan panas (suhu). Oleh karena itu, masyarakat di Dunia Barat pada umumnya mendeskripsikan pedas (pungent) pada saat memakan cabai sebagai hot (panas).
Pada tahun 1912, seorang ahli kimia di Amerika Serikat bernama Wilbur Scoville telah mengembangkan metode pengukuran kepedasan (heat level) yang dinamai dengan Scoville Organoleptic Test. Scoville mencampur bubuk cabe dengan larutan gula dan air dan sekelompok panelis mencicipinya sampai komposisi larutan dan cabe tersebut tidak dapat terdeteksi kepedasannya. Satuan skala yang digunakan kemudian dinamai Scoville Heat Unit (SHU). Skala ini berkelipatan 100 unit dan semakin besar skalanya, semakin pedas sensasinya. Cabe rawit mungkin bila dihancurkan dan dilarutkan dalam larutan gula, memerlukan perbandingan berat cabe:larutan =1:10.000 sampai 15.000 agar larutan tersebut tidak terdeteksi kepedasannya lagi. Oleh karena itu cabe rawit tersebut bisa dikatakan memiliki tingkat kepedasan 10.000 sampai 15.000 SHU.
Validitas dan keakuratan Scoville Organoleptic Test telah dikritik secara luas karena tingkat kepekaan terhadap sensasi pedas pada setiap orang berbeda-beda. Demikian juga kepekaan terhadap sensasi pedas juga dipengaruhi oleh waktu dan beberapa kali panelis terpapar makanan yang bersensasi pedas. Rongga mulut terdiri dari sel-sel yang termasuk cepat melakukan regenerasi dan tentunya terdiri dari sel-sel yang juga cepat mati. Oleh karena itu, sejak alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC) diperkenalkan, prosedur tes diubah dengan cara yang lebih akurat.
Dalam cabe (Capsicum annuum, Capsicum frutescens dan beberapa spesies lainnya), gugus senyawa yang memicu sensasi pedas adalah capsaicinoid. Gugus senyawa ini bisa diisolasi dengan ekstraksi pelarut. Untuk menyelaraskan hasil pengukuran skala yang dibuat Wilbur Scoville dengan hasil pengukuran kandungan gugus senyawa capsaicinoid yang terdiri dari penggabungan kandungan capsaicin, dihydrocapsaicin & nordihydrocapsaicin, metodenya telah dibakukan oleh AOAC (Association of Analytical Communities). AOAC menetapkan 1% capsaicinoid hasil pengukuran HPLC setara dengan 150.000 SHU. Capsaicin dan dihydrocapsaicin merupakan sekitar 90% bagian dari seluruh gugus capsaicinoid dalam cabe (Capsicum spp.). Selain ketiga senyawa tersebut masih ada dua senyawa lain yang tidak diperhitungkan namun memberi efek yang sedikit berbeda. Kedua senyawa tersebut adalah homocapsaicin dan homodihydrocapsaicin. Menurut Thomas A. Betts (dalam Journal of Chemical Education Vol 76 No. 2, February 1999), capsaicin, dihydrocapsaicin dan nordihydrocapsaicin memicu sensasi pedas lebih cepat pada pangkal lidah dan tenggorokan sementara homocapsaicin dan homodihydrocapsaicin cenderung memicu sensasi pedas dalam jangka waktu lebih lama pada bagian tengah lidah dan rongga mulut.
Kandungan capsaicinoid dalam cabe (genus capsicum) sangat bervariasi dari 0% pada bell pepper (di Indonesia kita kenal sebagai paprika) sampai dengan lebih dari 6% pada bhut jolokia. Kandungan capsaicinoid pada saus cabe dalam kemasan yang beredar di pasar Indonesia juga bervariasi dari kisaran 25ppm (400SHU) sampai dengan 200ppm (3000SHU)*.
Seluruh hewan mamalia di dunia, tidak ada yang menyukai sensasi pedas. Burung adalah hewan yang dipercaya menjadi penyebar tanaman ini tumbuh di berbagai belahan dunia (selain pembudidayaan oleh manusia di berbagai daerah setelah benua Amerika ditemukan). Burung tidak memiliki reseptor capsaicin. Diyakini, manusia sebagai mahluk yang berakal budi, sebagian menyukai sensasi pedas karena mengharapkan kenikmatan setelah “sakit akibat pedas” tersebut. Suku bangsa manusia yang berasal dari Mexico, Asia bagian Selatan dan Tenggara, adalah penggemar sensasi pedas cabe. Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan meluasnya kesukaan sensasi pedas tidak terbatas pada suku bangsa tertentu. Permen coklat dengan sensasi pedas pun mulai populer di Eropa.
Mengapa Capsicum Oleoresin?
Cabe merupakan bahan baku sumber sensasi pedas pada masakan (skala rumah tangga / industri kecil). Industri makanan olahan (terutama industri saus cabe) cenderung menggunakan capsicum oleoresin (yang merupakan hasil ekstraksi dari beberapa jenis spesies cabe - Capsicum annuum atau Capsicum frustecens) sebagai sumber sensasi pedas karena beberapa keunggulan berikut:
Natural
Proses pembuatan capsicum oleoresin tidak melalui sintesa kimiawi. Oleh karena itu, statusnya tetap dikategorikan natural. Pelarut hanya digunakan sebagai sarana untuk mengisolasi kandungan aktif dan residu pelarut yang tertinggal harus memenuhi standar maksimum yang diperbolehkan dan diatur ketat dalam standard badan internasional terkait.
Lebih ekonomis
Cabe segar/kering/bubuk maupun yang telah dibuat acar bisa dijadikan sumber sensasi pedas, namun mengandung lebih banyak komponen yang tidak diperlukan secara fungsional dari pada oleoresinnya. Sebagai contoh, untuk mencapai tingkat kepedasan yang setara, dosis pemakaian cabe rawit dibandingkan dengan capsicum oleoresin dengan kandungan total capsaicin 6,6 % (1 juta SHU) bisa mencapai 80:1. Proses ekstraksi dalam pembuatan capsicum oleoresin membuang banyak komponen yang tidak menyumbang kepedasan.
Konsistensi
Kualitas produk pertanian berfluktuasi tergantung pada unsur hara tanah, kondisi cuaca, cara dan waktu panen, cara dan waktu simpan. Memproses cabe menjadi oleoresin menghasilkan produk yang lebih konsisten kualitasnya karena ada parameter yang diukur dengan alat (HPLC untuk mengukur kandungan capsaicinoid).
Higienis
Proses produksi oleoresin mematikan mikroba. Tidak seperti cabe yang kandungan mikrobanya relatif tinggi, capsicum oleoresin bebas dari mikroba yang dapat merusak pangan maupun merugikan kesehatan.
Capsicum Oleoresin larut dalam minyak tumbuhan. Emulsifier perlu ditambahkan agar oleoresin digunakan lebih efektif dalam aplikasi makanan berkandungan air tinggi. Pemakaian emulsifier yang berstatus Halal menjadi sangat penting bila produk ini hendak dipasarkan di Indonesia. Oleh karena itu, pastikanlah pemasok sumber sensasi pedas ini yang memiliki sertifikasi Halal selain bisa menjamin tingkat kepedasan dengan pengukuran akurat (HPLC).