Foodreview.biz- Berbeda dengan keempat rasa dasar lainnya, rasa pahit paling banyak dihindari oleh konsumen. Oleh sebab itulah, industri pangan sering berusaha untuk menghilangkan atau menutupi rasa pahit pada produknya.
Walau demikian, tidak semua rasa pahit dihindari. Produk-produk seperti bir, kopi, coklat, dan teh adalah pengecualian untuk hal tersebut. Para penikmat dan pecinta produk-produk tersebut, telah menganggap rasa pahit pemberi cita rasa khas, yang mana bila dihilangkan akan mengurangi kenikmatannya. Namun, jika rasa pahit tersebut berlebihan, mereka juga akan menolak mengkonsumsinya.
Mengapa konsumen tidak menyukai rasa pahit? Hal ini tidak lain karena kebiasaan sejak lahir, yang kemudian berpengaruh hingga dewasa. Sejak pertama kali lahir, manusia mendapat asupan Air Susu Ibu (ASI). Dalam air susu tersebut terdapat gula (sumber rasa manis) dan asam glutamat (sumber rasa umami). Akhirnya, dua rasa tersebut menjadi lebih familiar dan disukai.
Persepsi rasa pahit berhubungan dengan usia. Semakin bertambah usia, sensitivitasnya berkurang. Begitupun dengan gender, wanita lebih sensitif merasakan stimulus rasa dasar dibandingkan pria (Cowart, et al., 1994). Namun, banyak faktor yang mempengaruhi sensitivitas tersebut, termasuk budaya dan kebiasaan.
Rasa pahit dapat diakibatkan oleh lebih dari 1000 molekul yang memiliki struktur berbeda. Komponen pembentuk rasa pahit dapat dideteksi oleh indera pengecap manusia hanya dalam jumlah mikromol. Misalnya untuk quinine (salah satu komponen penyebab rasa pahit), yang memiliki threshold hanya 0,25 µmol/l. Bandingkan dengan sukrosa yang thresholdnya mencapai 10 000 µmol/l.
Selama ini, penelitian rasa pahit banyak berkutat pada senyawa seperti kafein, denatonium benzoat, naringin, dan sebagainya. Padahal, bisa saja komponen pembentuk rasa pahit yang ada dalam produk pangan bervariasi. Contohnya pada bir. Komponen utama pembentuk rasa pahit dalam produk itu memang iso-alpha acid, baik dalam bentuk tereduksi maupun terhidrogenasi. Namun, selain senyawa tersebut, adapula asam amino yang berkontribusi terhadap rasa pahit, misalnya L-tyrosine, L-tryptophan, L-leucine, L-threonine, dan L-phenylalanine. Begitupun dengan dipeptida dan cyclic diketopiperazine yang juga turut berkontribusi terhadap rasa pahit.
Dari mana rasa pahit datang?
Rasa pahit bisa muncul dari bahan baku atau ingridien alami yang digunakan, bisa juga berasal dari proses pengolahan seperti proses fermentasi dan reaksi Mailard. Dari bahan baku misalnya air yang digunakan mengandung MgSO4, penggunaan garam potasium, kopi dengan kafeinnya, jeruk dengan naringinnya, dan lainnya. Sedangkan dari proses, misalnya adalah terbentuknya asam amino proline dan 4-H-quinolizinium-7-olate selama proses reaksi Maillard. Bahkan, komponen terakhir yang disebut diduga sebagai senyawa yang memiliki rasa paling pahit dengan threshold 0,25 µmol/kg (Frank, et al., 2001).
Mengurangi rasa pahit
Banyak teknik yang dikembangkan untuk mengurangi rasa pahit pada produk pangan, di antaranya dengan menggunakan bitter inhibitors, perlakuan menggunakan enzim untuk mendegradasi komponen penyebab rasa pahit, pengikatan/penangkapan komponen pembentuk rasa pahit dalam produk, dan sebagainya.
Penggunaan protein semakin komponen pengikat dan inhibitor juga umum dilakukan. Salah satunya adalah dengan menggunakan riboflavin binding protein (RBP) yang diperoleh dari telur ayam. Maehashi et al. (2007) melaporkan bahwa RBP dapat menekan protein sweetener seperti thaumatin, monellin, dan lysozyme tanpa menghambat pemanis lainnya dengan molekul yang lebih kecil, seperti sukrosa, sakarin, dan glycine. Menariknya, mereka juga menemukan hasil, bahwa RBP juga mampu menekan rasa pahit. Pada penelitiannya dengan menggunakan komponen pembentuk rasa pahit, Maehashi et al. (2007) membuktikan, bahwa RBP dapat menghambat rasa pahit secara sempurna (Gambar 1). Hal ini tidak berlaku pada jenis protein lain yang diuji cobakan (Bovine Serum Albumin (BSA), Ovalbumin (OVA), dan β-lactoglobulin (LG)). Artinya tidak semua protein memiliki sifat bitter inhibition.
Dalam penelitian lanjutannya, Maehashi et al. (2007) berusaha untuk mengetahui interaksi antara RBP dan komponen penyebab rasa pahit. Hasilnya mengindikasikan bahwa, bitter inhibition tidak berkaitan langsung dengan ikatan yang terbentuk antara komponen pembentuk rasa pahit dan protein. Sebab protein lainnya yang tidak menghambat rasa pahit, seperti OVA, juga mampu mengikat quinine. Kemungkinan yang terjadi adalah RBP menghambat rasa pahit dengan cara menghambat reaksi antara sel reseptor dengan komponen pembentuk rasa pahit.
Jika Maehashi et al. (2007) menggunakan RBP untuk menekan rasa pahit, beda lagi dengan apa yang dilakukan oleh Linde et al. (2009). Mereka menggunakan cyclodextrin untuk menutupi rasa pahit yang ditimbulkan oleh asam amino pada produk minuman. Seperti yang dikutip dari foodnavigator.com dari Jurnal Food Research International, α-cyclodextrin dapat membentuk kompleks dengan berbagai asam amino dan juga hydrolised soy protein. Hasilnya, terjadi pengurangan rasa pahit pada acidic beverages.
Seperti yang diketahui, hydrolized protein memiliki nilai fungsional yang tinggi karena kandungan komponen bioaktifnya. Selain itu, dari aspek teknis, komponen ini memiliki tingkat kelarutan yang baik dalam produk ber pH rendah (pH 4,5) dan stabil terhadap proses termal, sehingga penggunaannya sangat disukai oleh industri minuman ber pH rendah. Namun, adanya proses hidrolisis menyebabkan terlepasnya asam-asam amino yang berkontribusi terhadap rasa pahit. Penambahan α-cyclodextrin tersebut dapat mengikat asam-asam amino tersebut.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa banyak metode yang bisa dilakukan dalam mengurangi rasa pahit. Oleh sebab itu, kini produsen dapat lebih bebas berkreasi menggunakan ingridien-ingridien fungsional, yang beberapa di antaranya memiliki rasa pahit. Dalam produk tradisional Indonesia, jamu sering diasumsikan dengan rasa pahit. Kini, bukan tidak mungkin rasa pahit tersebut dapat dikurangi, sehingga lebih disukai oleh konsumen.
Hendry Noer F
Referensi
• Cowart, B. J., Yokomukai, Y., Beauchamp, G.K. 1994. Bitter Taste in Ageing: Compound Specific Decline in Sensitivity. Physiol Behav. 56(6): 1237 –12 41.
• Frank, O., Ottinger, H., Hofmann, T. 2001. Characterization of an Intense Bitter-tasting 1H,4H-quinolizinium-7-olate by Application of the Taste Dilution Analysis, a Novel Bioassay for the Screening and Identification of Taste-active Compounds in Foods. J. Agric. Food Chem. 49 (1): 231 – 238.
• Linde, G. A., A. L. Junior., E. V. de Faria, N. B. Colauto., F. F. De Moraes., G. M. Zanin. 2009. Cyclodextrin could Mask Bitter Flavours in Beverages: Study. dalam www.foodnavigator.com (diunduh 8 September 2009).
• Maehashi, Kenji., Mami Matano., Miho Nonaka., Shigezo Udaka., Yasushi Yamamoto., 2007. Riboflavin Binding Protein is a Novel Bitter Inhibitor. Oxford University Pers. Oxford.