Langsung ke konten utama

Teknologi Kemasan Aseptik Jamin Sterilisasi Makanan


Kompas, 7/2/02, 
Saat ini, teknologi kemasan aseptik (The Aseptic Technologies) makin banyak dipakai oleh kalangan industri makanan dan minuman olahan non rumahan. Pengemasan makanan dengan teknologi ini dipilih, karena diyakini paling mampu menjamin sterilisasi dan kualitas makanan dalam jangka waktu yang lama.

Dikatakan Dr Purwiyatno Hariyadi, Ketua Jurusan Teknologi Pangan dan Nutrisi Manusia, Fakultas Pertanian IPB Bogor, pada sebuah diskusi dengan wartawan di PT Ultra Jaya, Bandung, Kamis (28/02) lalu. Keberhasilan proses pengolahan makanan awetan, pada dasarnya memang ditentukan oleh banyak faktor, misalnya bahan mentahnya, proses pengemasannya atau proses penyimpanan.

"Produk yang kering memang biasanya memang lebih awet daripada produk yang basah. Tetapi kesalahan yang terjadi dalam rangkaian proses pengolahan bahan makanan itu akan mempengaruhi mutunya," tegas
Purwiyatno. Selain itu, menurut Purwiyatno, proses sanitasi yang kurang baik, ketidak seimbangan pengendalian suhu dan kelembaban, adanya tekanan secara fisik pada kemasan, juga akan membuat masa simpan suatu produk lebih pendek umurnya.

Oleh sebab itu, kalangan industri makanan dan minuman non rumahan selalu mengutamakan pengolahan dengan suhu tinggi (Ultra High Temperature), dimana di dalamnya termasuk teknologi aseptik ini, untuk
menjamin produknya tak tercemar mikroorganisme (seperti jamur kapang, bakteri dan khamir), menginaktivasi enzim, sekaligus meningkatkan daya cerna.


"Tapi cara (pengolahan suhu tinggi) ini juga bisa menimbulkan perubahan yang tidak diinginkan, misalnya kerusakan beberapa zat gizi, mutu sensori (warna dan tekstur) terutama kalau pemanasannya tidak
dikendalikan dengan baik," kata Purwiyatno, seraya menambahkan tentang banyaknya cara pengolahan dengan suhu tinggi, misalnya pemasakan (cooking), penghangatan kembali (rewarming), pelelehan (thawing), blansir, hot filled, pasteurisasi dan sterilisasi.

Tanpa bahan pengawet? Bisa saja

Dalam kesempatan itu, Purwiyatno optimis bahwa saat ini produk pangan dan minuman dalam kemasan bisa tahan lama, meskipun tanpa bahan pengawet. Sebab, pengolahan dengan suhu tinggi yang dilakukan di pabrik sudah melewati beragam tahapan pasteurisasi dan sterilisasi, mulai dari pemanasan, pendinginan, pengeringan, fermentasi sampai pengaturan ph.

Proses pasteurisasi untuk produk susu, misalnya, mutlak dilakukan untuk menghindari produk itu dari kebusukan akibat mikroba.

Hal lain yang juga amat penting untuk menentukan keawetan bahan pangan dan cair seperti susu ini adalah kemasannya. Oleh sebab itu, dalam menerapkan teknologi aseptik, Purwiyatno menyatakan, produsen harus memperhatikan beberapa hal yaitu sterilisasi lingkungan tempat pengemasan, kualitas bahan kemasan, pengisian produk secara aseptik dan kemasan dikelim secara hermetis (kedap) dalam zona steril.

Umumnya, sebuah kemasan produk harus terdiri dari enam lapisan, yaitu : 4 polyethylene yang dipasang berselang seling sebagai adesif, paper (untuk memberikan stabilitas dan kekuatan kemasan) dan alumunium foil (untuk melindungi produk dari oksigen, aroma dan cahaya).

"Kalau kita yakin bahwa semua proses yang dilakukan, termasuk pengemasan sudah baik dan mampu membunuh mikroba, berarti buat apalagi memakai pengawet?" ujar Purwiyatno, optimis.

Walaupun demikian, keberadaan mikroba dalam makanan atau minuman olahan selalu berarti buruk. "Kalau perubahan kimia memang umumnya membuat kualitas produk menurun. Tetapi kalau kadaluarsa itu tergantung. Kalau tekstur atau warna saya kira tidak ada pengaruhnya. Kadaluarsa pada
susu, misalnya, ditentukan oleh jumlah mikrobanya."

Yang penting untuk menjaga kualitas produk dari penambahan jumlah mikroba, kata Purwiyatno, adalah menjaga integritas sambungan dan penutupan pada kemasan produk, terutama produk susu yang dalam proses pasteurisasi dipanaskan pada suhu di bawah 100° C untuk membunuh bakteri patogen.

"Itu sebabnya mesti ada quality control systems yang baik, mulai dari sanitasi sampai pengontoran akhir produk sebelum keluar di pasaran," demikian Purwayitno.  (LBK)

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bread Improver dan Para Pemainnya

Sebelum tahun 1950, proses pembuatan adonan yang amat populer adalah menggunakan metode sourdough dan sponge and dough yang membutuhkan waktu 12-24 jam dalam proses fermentasi. Proses pembuatan roti di jaman moderen menuntut kecepatan karena waktu semakin berharga dan cakupan wilayah distribusi semakin luas, yang berarti kapasitas produksi semakin besar. Maka proses fermentasi semakin pendek bahkan ada istilah no time dough untuk menjelaskan singkatnya waktu fermentasi. Untuk itu diperlukan bahan yang membantu kinerja pengembangan roti agar maksimal dalam waktu fermentasi yang maksimal yang dikenal dengan nama bread improver. Ada dua alasan utama dalam mengaplikasikan bread improver dalam adonan yang menggunakan yeast, yaitu untuk mendukung kerja yeast dalam memproduksi gas (CO²) dalam masa fermentasi dan menjaga kestabilan kandungan gas di dalam adonan yang berperan juga dalam menentukan cita rasa, kestabilan volume dan shelf life adonan setelah dipanggang. Dalam Bread Improver

Resep Liang Teh & Cara Masaknya

  Bahan bahan liang teh bisa didapatkan di toko obat china yang menjual jamu2 tradisional, jika dijakarta bisa ditemukan didaerah glodok. Biasanya bahan bahan tersebut sudah dalam 1 paket.    Berikut bahan-bahannya untuk membuat Liang Teh : 1. Mesona Palustris (Cincau Hitam/Grass Jelly Drink) / sienchau (xiancao) Ekstrak daun cincau hitam memiliki kandungan senyawa antioksidan yang cukup tinggi yang berasal dari golongan flavonoid, polifenol, maupun saponin. Menurut penelitian (Nurdyansyah dan Widyansyah (2017) yaitu ekstrak daun cincau hitam memiliki nilai IC50 66,67 ppm serta total fenol sebesar 829,7 ppm. Nilai IC50 tersebut membuktikan bahwa tanaman cincau hitam berpotensi sebagai bahan pangan fungsional yang mampu sebagai antioksidasi dalam tubuh akibat paparan senyawa radikal bebas. Berdasarkan review yang berjudul Beneficial Effect of Mesona palustris BL: A Review on Human and Animal Intervention terbukti bahwa cincau hitam memiliki kandungan antioksidan. Selain itu, pangan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AIR

  Air memiliki karakteristik fisika, kimia dan biologis yang sangat mempengaruhi kualitas air tersebut. Oleh sebab itu, pengolahan air mengacu kepada beberapa parameter guna memperoleh air yang layak untuk keperluan domestik terutama pada industri minuman. 1. Faktor Fisika  Faktor-faktor fisika yang mempengaruhi kualitas air yang dapat terlihat langsung melalui fisik air tanpa harus melakukan pengamatan yang lebih jauh pada air tersebut. Faktor-faktor fisika pada air meliputi:   A. Kekeruhan Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkanoleh buangan industri.   B. Temperatur Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobic ynag mungkin saja terjadi.   C. Warna Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan